Page 5 - TAN MALAKA- Bapak Republik Yang Di Lupakan
P. 5

Satu  lagi  bukti  yang  mesti  dicari: berapa  tinggi  Tan  sebenarnya?  Di  buku
               Dari Penjara ke Penjara II, Tan bercerita ia dipotret setelah cukur rambut
               dalam tahanan di Hong Kong. "Sekonyong-konyong tiga orang memegang
               kuat  tangan  saya  dan  memegang  jempol  saya  buat  diambil  capnya.
               Semua dilakukan serobotan," ucap Tan. Dari buku ini Poeze pun mencari
               dokumen  tinggi  Tan  dari  arsip  polisi  Inggris  yang  menahan  Tan  di  Hong
               Kong.  Eureka!  Tinggi  Tan  ternyata  165  sentimeter,  lebih  pendek  daripada
               Soekarno  (172  sentimeter).  Dari  ciri-ciri  itu,  Poeze  menemukan  foto  Tan
               yang  berjalan  berdampingan  dengan  Soekarno.  Tan  terbukti  berada  di
               lapangan itu dan menggerakkan pemuda.

               Tan tak pernah menyerah. Mungkin itulah yang membuatnya sangat kecewa
               dengan Soekarno-Hatta yang memilih berunding dan kemudian ditangkap
               Belanda.  Menurut  Poeze,  Tan  berkukuh,  sebagai  pemimpin  revolusi
               Soekarno  semestinya  mengedepankan  perlawanan  gerilya  ketimbang
               menyerah.  Baginya,  perundingan  hanya  bisa  dilakukan  setelah  ada
               pengakuan  kemerdekaan  Indonesia  100  persen  dari  Belanda  dan  Sekutu.
               Tanpa itu, nonsens.

               Sebelum  melawan  Soekarno,  Tan  pernah  melawan  arus  dalam  kongres
               Komunisme  Internasional  di  Moskow  pada  1922.  Ia  mengungkapkan
               gerakan komunis di Indonesia tak akan berhasil mengusir kolonialisme jika
               tak  bekerja  sama  dengan  Pan-Islamisme.  Ia  juga  menolak  rencana
               kelompok Prambanan menggelar pemberontakan PKI 1926/1927. Revolusi,
               kata  Tan,  tak  dirancang  berdasarkan  logistik  belaka,  apalagi  dengan
               bantuan  dari  luar  seperti  Rusia,  tapi  pada  kekuatan  massa.  Saat  itu  otot
               revolusi  belum  terbangun  baik.  Postur  kekuatan  komunis  masih  ringkih.
               "Revolusi bukanlah  sesuatu yang dikarang dalam  otak," tulis  Tan.  Singkat
               kata, rencana pemberontakan itu tak matang.

               Penolakan ini tak urung membuat Tan disingkirkan para pemimpin partai.
               Tapi, bagi Tan, partai bukanlah segala-galanya. Jauh lebih penting dari itu:
               kemerdekaan  nasional  Indonesia.  Dari  sini  kita  bisa  membaca  watak  dan
               orientasi penulis Madilog ini. Ia seorang Marxis, tapi sekaligus nasionalis. Ia
               seorang  komunis,  tapi  kata  Tan,  "Di  depan  Tuhan  saya seorang  muslim"
               (siapa sangka ia hafal Al-Quran sewaktu muda). Perhatian utamanya adalah
               menutup buku kolonialisme selama-lamanya dari bumi Indonesia.

               Berpuluh tahun namanya absen dari buku-buku sejarah; dua-tiga generasi
               di antara kita mungkin hanya mengenal samar-samar tokoh ini. Dan kini,
               ketika negeri ini genap 63 tahun, majalah ini mencoba melawan lupa yang
               lahir  dari  aneka  keputusan  politik  itu,  dan  mencoba  mengungkai  kembali
               riwayat  kemahiran  orang  revolusioner  ini.  Sebagaimana  kita  mengingat
               bapak-bapak  bangsa  yang  lain:  Bung  Karno,  Bung  Hatta,  Sjahrir,
               Mohammad Natsir, dan lainnya.





                                                    3
   1   2   3   4   5   6   7   8   9   10