Page 95 - TAN MALAKA- Bapak Republik Yang Di Lupakan
P. 95

Soedirman dan Tan Malaka lalu mengumpulkan seluruh elemen politik di
               Purwokerto,  Jawa  Tengah.  Pertemuan  ini  menghasilkan  faksi  Persatuan
               Perjuangan yang kongresnya dihadiri 141 wakil pelbagai kubu.

               Dalam silang-sengkarut itu muncul orang Minang lain yang terkenal sebagai
               politisi-cum-sejarawan:  Muhammad  Yamin.  Ia  aktif  di  Persatuan,  tapi
               sering  jalan  dengan  sikapnya  sendiri.  Tanpa  konsultasi  dengan  pimpinan
               Persatuan,  Yamin  gencar  mengkritik  secara  terbuka  politik  diplomasi
               Sjahrir.  Sikap  frontal  Yamin  ini  kian  memanaskan  situasi  yang  berakhir
               dengan  mundurnya  Sjahrir  dari  kursi  perdana  menteri  pada  28  Februari
               1946.

               Situasi  adem  itu  tak  berlangsung  lama.  Tak  lama  kemudian  Soekarno
               kembali menunjuk Sjahrir melanjutkan diplomasi. Keputusan ini membuat
               kubu  Soedirman-Tan  kembali  meradang.  Saking  marahnya,  para  pemuda
               Persatuan sempat menembaki mobil Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin
               yang akan masuk Istana Negara.

               Bahkan  saling  tangkap  pun  terjadi.  Amir  memerintahkan  tentara
               menangkap Tan dan tokoh Persatuan lain. Soedirman membalasnya dengan
               memerintahkan pasukan Peta menangkap Sjahrir. Kedua kubu sama-sama
               membebaskan  sandera  ketika  Soekarno  turun  tangan.  Tapi  konflik  tak
               begitu saja reda, sehingga Tan terbunuh di Kediri pada Februari 1949.

               Sejarawan Harry A. Poeze berpendapat, perbedaan trio Minang itu karena
               mereka  lahir  dari  lingkungan  yang  berbeda,  meski  sama-sama  belajar
               Marxisme dan mendapat pendidikan Belanda. Secara adat Tan seorang raja
               tapi  miskin  secara  ekonomi,  sedangkan  Hatta-Sjahrir  kelas  menengah
               secara  ekonomi.  Tan  orang  udik,  Hatta  dari  Bukittinggi  dan  Sjahrir  dari
               Padangpanjang dari keluarga pedagang.

               Meski  sama-sama  dibuang,  Hatta-Sjahrir  masih  menerima  penghasilan.
               Sedangkan  Tan  tak  punya  pendapatan  pasti  dalam  pelarian,  hidupnya
               susah, dan ia berteman dengan penyakit, bahkan bergaul dengan romusha
               di  Banten  Selatan.  Pasase  hidup  yang  membuatnya  kian  mantap  menjadi
               Marxis dimulai ketika mengajar di sebuah perusahaan perkebunan Belanda
               di  Deli.  Ia  melihat  langsung  bagaimana  orang  sebangsanya  ditindas
               menjalani kuli kontrak.

               Berbeda  dengan  Hatta,  kendati  sering  berseberangan,  hubungan  pribadi
               Tan  dengan  Sjahrir  relatif  bagus.  Menurut  Poeze,  Sjahrir  pernah  dua  kali
               menawari seniornya itu memimpin Partai Sosialis Indonesia. Seperti biasa,
               Tan menolak.





                                                   93
   90   91   92   93   94   95   96   97