Page 94 - TAN MALAKA- Bapak Republik Yang Di Lupakan
P. 94

Perbedaan itu melekat hingga Indonesia merdeka. Pada 23 September 1945,
               sebuah rapat digelar di rumah Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo. Hatta
               menawari  Tan  ikut  dalam  pemerintahan.  "Tidak,  dua  (Soekarno-Hatta)
               sudah tepat. Saya bantu dari belakang saja," kata Tan. Hatta menganggap
               penolakan itu sebagai keengganan senior dipimpin orang yang lebih muda.

               Tak  mengherankan  ketika  Soekarno  keceplosan  membuat  testamen  lisan
               yang  isinya  akan  menyerahkan  kekuasaan  kepada  Tan  jika  ia  ditangkap
               sekutu, Hatta menolaknya. Ia menambah tiga nama: Sjahrir, Iwa Koesoema
               Soemantri, dan Wongsonegoro. "Agar mewakili semua kelompok," katanya.

               Selain  dengan  Hatta,  Tan  Malaka  juga  berselisih  paham  dengan  Sutan
               Sjahrir,  yang  juga  berasal  dari  Minang.  Menurut  Adam  Malik  dalam
               Mengabdi  Republik  (1978),  pada  awal-awal  kemerdekaan  Sjahrir  menolak
               bergabung dengan pemerintahan karena belum yakin masyarakat Indonesia
               menerima sepenuhnya proklamasi Soekarno-Hatta.

               Setelah  yakin  Indonesia  merdeka  secara  de  jure,  Sjahrir-yang  menganut
               ideologi sosial-demokrat-ikut mempertahankan dengan cara yang berbeda.
               Ketika Belanda akan kembali menghidupkan pemerintah jajahan Hindia, ia
               "merapat"  ke  kubu  Inggris-Amerika  sebagai  "penguasa"  baru  nusantara.
               Sekutu  memilih  Sjahrir  sebagai  juru  runding  karena  menganggap  "Bung
               Kecil" itu berpikiran modern dan disukai Belanda.

               Sjahrir  kemudian  gencar  mengampanyekan  politik  diplomasi.  Dalam
               kampanyenya,  seperti  tertuang  dalam  pamflet  Perjuangan  Kita,  Sjahrir
               telak-telak  menyatakan  akan  menyingkirkan  semua  kolaborator  Jepang.
               Tentu saja ini menohok Soekarno-Hatta. Juga Jenderal Soedirman sebagai
               salah satu pemimpin tentara Pasukan Pembela Tanah Air (Peta) bentukan
               Jepang.

               Perselisihan  makin  runcing  ketika  Sjahrir  menjadi  perdana  menteri  dan
               mengubah sistem politik dari presidensial menjadi parlementer. Praktis ia
               dan  Amir  Syarifuddin  yang  berkuasa.  Meski  tak  banyak  komentar  lisan,
               dalam  Demokrasi  Kita,  Wakil  Presiden  Hatta  mengecam  perubahan  itu.
               "Kabinet parlementer tak bisa bertanggung jawab sesuai dengan fungsinya,"
               katanya.

               Jenderal Soedirman lebih jengkel lagi. Ia pun merapat ke kubu Tan Malaka
               yang sudah lebih dulu menentang ide Sjahrir. Maka, pada akhir medio 1940,
               muncul  tiga  dwitunggal  yang  punya  jalan  masing-masing  menghadapi
               politik pecah belah Belanda: Soekarno-Hatta, Sjahrir-Amir, dan Soedirman-
               Tan Malaka. "Jika ulah Sjahrir itu makin mengancam persatuan kita, saya
               tak  segan  mengambil  kebijaksaan  sendiri,"  kata  Soedirman  kepada  Adam
               Malik.



                                                   92
   89   90   91   92   93   94   95   96   97