Page 34 - TAN MALAKA- Bapak Republik Yang Di Lupakan
P. 34

Kini  beberapa  lokasi  masih  ditambang  penduduk,  sedangkan  yang
               lain terbengkalai begitu saja.

               Tan  bekerja  di  Bayah  setelah  melamar  ke  kantor  Sosial.  Dia  butuh
               penghasilan sekaligus tempat bersembunyi. Waktu itu, perusahaan di
               Bayah membutuhkan 30 pekerja-bukan romusha. Tan melamar tanpa
               ijazah.  Dia  mengaku  bersekolah  di  MULO  (setara  dengan  sekolah
               menengah  pertama)  dua  tahun  dan  pernah  menjadi  juru  tulis  di
               Singapura. Tan lulus dengan menyisihkan 50 pelamar.

               Tan  berangkat  dengan  kereta  api  dari  Tanah  Abang,  berakhir  di
               Stasiun  Saketi.  Saat  itu  kereta  rute  Saketi-Bayah  belum  beroperasi.
               Dia lalu meneruskan perjalanan dengan truk.

               Dalam  memoarnya,  Dari  Penjara  ke  Penjara,  Tan  mendapat  cerita
               tentang asal-usul Saketi. Kata Saketi berasal dari bahasa Sunda, yang
               artinya 100 ribu. Konon, 100 ribu itu mengacu pada ramalan tentang
               banyaknya korban selama pembuatan jalur kereta Saketi-Bayah. Jadi,
               kalau jarak Saketi ke Bayah 90 kilometer, ada satu nyawa melayang
               dalam satu meter rel.

               Stasiun  Saketi  menjadi  tempat  persimpangan  kereta  dari  Jakarta
               menuju  Bayah  dan  Labuan.  Tempo-bersama  penulis  buku  Tan
               Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945 , Harry Albert Poeze-
               menelusuri  rute  perjalanan  Tan  dari  Stasiun  Saketi.  Kini  bangunan
               itu telah menjadi tempat tinggal anak kepala stasiun, Momo Mujaya,
               58  tahun.  Jalur  Saketi-Bayah  berhenti  beroperasi  pada  1950-an,
               disusul Saketi-Labuan sekitar 1980.

               Sesampai di Bayah, Tan indekos di rumah warga, sebelum menghuni
               gubuk kecil dari bambu. Dia selalu memakai celana pendek, kemeja
               dengan  leher  terbuka,  kaus  panjang,  helm  tropis,  dan  tongkat.  Dia
               berbicara  dengan  bahasa  Indonesia,  tapi  jarang  tampil  di  depan
               umum.

               Tan  sering  menjelajahi  pelosok,  termasuk  Pulo  Manuk,  enam
               kilometer  dari  Bayah.  Tempat  itu  paling  ditakuti,  termasuk  oleh
               tentara  Jepang,  karena  penyakit  kudis,  disentri,  dan  malaria
               mewabah di sana. Waktu itu, penyakit dan kelaparan menjadi faktor
               utama kematian romusha di Bayah.






                                                   32
   29   30   31   32   33   34   35   36   37   38   39