Page 38 - TAN MALAKA- Bapak Republik Yang Di Lupakan
P. 38

a
                  a
                                    a
                                   j
                   s
                    k
                     a
                   s
                    k
                                   j
                                  a
                                 w
                                 w
                                  a
                                     t
                                    a
                                      i
                                     t
                            i
                            i
                           r
                           r

                              R
                               a

                             R
                      h

                     a
                      h

                          a
                          a
                        d
                         d
                               a
               N N
               Naskah dari Rawajatii
               Naskah dari Rawajati

               DI  DESA  Rawajati,  dekat  sebuah  pabrik  sepatu  di  Kalibata,  Jakarta,  ia
               menyewa  gubuk  bambu.  Pada  sepetak  ruang  sekitar  15  meter  persegi  di
               rumah  itulah,  Ibrahim  Datuk  Tan  Malaka,  dari  pukul  enam  pagi  hingga
               pukul 12 siang, berkutat merangkum gagasan dan pikirannya.

               Kelak buah pikiran itu mewujud dalam sebuah buku termasyhur: Madilog
               (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Tan menulis Madilog sejak 15 Juli
               1942 sampai 30 Maret 1943.

               Selama bermukim di Rawajati, ia kerap menyambangi Museum Bataviaasch
               Genootschap van Kunsten en Wetenschappen-sekarang Museum Nasional-
               untuk mencari dan membaca naskah rujukan. Ke museum yang kini terletak
               di  seberang  Monumen  Nasional  itu  ia  sering  berjalan  kaki-kadang  butuh
               waktu empat jam.

               Bila  hendak  ke  sana,  Tan  bangun  pukul  setengah  lima  subuh.  Tiba  di
               museum  sekitar  pukul  sembilan,  ia  biasanya  tak  lebih  dari  satu  jam  di
               perpustakaan.  Setelah  sebentar  mempelajari  keadaan  di  kota,  "Sorenya
               kembali  jalan  kaki  menuju  sarang  saya  di  Kalibata,"  tulis  Tan  dalam
               memoarnya, Dari Penjara ke Penjara II.

               Sejarawan  Belanda,  Harry  Albert  Poeze,  mengatakan  Madilog  merupakan
               bentuk  pikiran  yang  telah  mengendap  bertahun-tahun  dalam  diri  Tan
               Malaka.  Tan  merangkum  pemikirannya  dari  hasil  bacaan  selama
               pengembaraan di Belanda, Cina, hingga Singapura.

               Tan  tidak  mencantumkan  sumber  rujukan  dalam  Madilog.  Jilid  pertama
               seluruhnya ditulis berdasarkan ingatannya. Selanjutnya, Tan menggunakan
               rujukan  dari  perpustakaan  di  museum  yang  dikunjunginya.  "Tan  ingin
               mengelakkan  kesan bahwa  Madilog  sepenuhnya buah  pikirannya  sendiri,"
               kata Poeze.

               Istilah Madilog merujuk pada cara berpikir, bukan pandangan hidup. Poeze,
               dalam  bukunya,  Tan  Malaka:  Pergulatan  Menuju  Republik  1925-1945,
               mengatakan  inti  Madilog  adalah  penglihatan  masa  depan  Indonesia  yang
               merdeka  dan  sosialis.  "Tulisan  itu  merupakan  karya  orisinal  Tan,"  ujar
               Poeze.

               Selama  menulis  Madilog,  Tan  selalu berdiskusi  dengan  sejumlah pemuda.
               Dia banyak bercerita tentang kesengsaraan penduduk di bawah penguasaan
               Jepang.  Karena  aktivitasnya  inilah, Asisten Wedana  Pasar  Minggu pernah
               datang dan menggeledah gubuknya.

                                                   36
   33   34   35   36   37   38   39   40   41   42   43