Page 26 - untitled137.tif
P. 26
19
Setelah Ujang Onon mendengar cerita Neng Elom yang
panjang Iebar itu, Ujang Onon benar-benar kaget dan diam
seribu bahasa. Untuk beberapa saat, ia tak dapat bereaksi.
Setelah agak lama, ia baru bisa berbicara.
"Heh, Eneng! Akang menyesal benar, tapi harus bagai-
mana lagi. Menurut Akang, hanya ada satu jalan. Eneng
harus berterus terang bahwa Eneng tak suka dikawinkan
dengan Haji itu. Bila, Bapakmu mengerti, ia tentu tidak jadi
mengawinkan Eneng dengan Pak Haji. Tapi, ... itulah susah-
nya ... karena sudah menerima uang pengikat. Ah, walaupun
.
.
begitu tak jadi soal, tinggal dikembalikan saja. Seandainya,
Haji itu tidak menerima pembatalan dan lalu memperpanjang
urusan, kita takkan kalah karena tak ada tanda hitam di atas
putih," kata Ujang Onon memberi jalan keluar.
Ketika sudah lewat Magrib, di rumah Neng Elom, terjadi
pembicaraan antara anak dan bapak tentang perjodohan itu.
"Ayah, saya beltim berniat punya suami. Bila punya
suami pun,· saya mau sama laki-laki yang seusia yang cocok
dengan hati dan tidak beristri banyak," papar Neng Elom.
Begitu mendengar perkataan anaknya, Bapak Elom
sangat marah dan sambil membentak berkata.
"He, anak kurang ajar! Pada siapa kamu mau menurut?
Kalau begitu, kamu hanya memikirkan diri sendiri saja. Siapa
pun yang punya pikiran seperti kamu, bukan orang baik-baik,
bukan perempuan calon ibu rumah tangga. Anak perempuan
itu harus patuh pada kata orang tua saja. Beda dengan anak
laki-laki. Lihat tuh Uan Entum, anaknya Seh Mubarok, tahu-
nya akan dikawinkan kepada Seh Soleh pun sekitar dua-tiga
hari sebelum hari pernikahannya. Jadi, dia baru tahu bakal
suaminya itu, di waktu kawin itu saja. Nyatanya, mereka baik-