Page 56 - untitled137.tif
P. 56
49
pasar. Ia mengenakan kain atas paris merah jambu, ber-
kerudung sutra banggala gading, kain bawah ciamisan, selop
beludru merah, pajung tasik, dan menenteng tas tangan non-
non Belanda bergaya gadis Eropa. Ia berjalan lurus tak me-
nengok kiri kanan. Memanglah sejak kecil ia sudah bergaul
dengan bangsa Belanda.
Setibanya di pasar, ia masuk ke satu toko Cina mencari
bahan pakaian. Di sana sudah ada Bung Santri Gagal yang
akan nienjual emas. Begitu melihat Enden Kori, nafasnya
kontan memburu, air Judah menggeremang dalam mulut, bibir
bergerak-gerak penasaran. Kebetulan kain bahan yang
diminati Enden Kori itu ada di samping tempat Kurnia berdiri.
"Maaf, Kang! Tolong ambilkan kain yang berwarna oren
itu!" kata Enden sambil tersenyum menunjuk kain.
Bung Santri cepat-cepat meraih kain itu, lalu disodor-
kannya. Kata Enden Kori, "Terima kasih!" Begitulah cara
orang-orang terpelajar, bila mendapat pertolongan tak lupa
mengucapkan terima kasih. Tapi perkataan "terima kasih"
Enden Kori dalam pikiran Bung Santri dianggapnya ada
maksud-maksud tertentu.
Bung Santri tinggal terpana, begitulah keadaannya
orang yang tergila-gila. Mantra dihabiskan semua, tapi ....
Tunda yang lagi mabuk kepayang, kita sekarang tengok
dulu Kampung Cikopo, rumahnya Bung Santri Gagal. Di sana
ada penerus profesi comblang dulu yang dipegang Kang
Emad. Namanya Wasita. Di kampung, ia bekerja sebagai
kepala pengurus sawah milik ayahnya Enden Kori.
Pada suatu kesempatan, sore-sore, ia berkunjung ke-
pada Bung Santri Gagal, begitu nongol langsung dipersila-
kan.