Page 14 - TAN MALAKA- Bapak Republik Yang Di Lupakan
P. 14

Nishijima terheran-heran. "Bagaimana mungkin orang yang tampak seperti
               petani ini bisa menganalisis segala-galanya dengan begitu tajam," katanya.
               Setelah  lebih  dari  dua  jam  berbincang,  Soebardjo  menjelaskan  bahwa
               kawannya  ini  tak  lain  Tan  Malaka.  Nishijima  terkejut.  Ia  bangkit  lalu
               menjabat tangan Tan lebih erat.

               Kepada  tamunya,  Soebardjo  meminta  keberadaan  Tan  dirahasiakan.
               Sepekan  menetap  di  rumah  Soebardjo,  lewat  perantara  Nishijima,  Tan
               pindah ke rumah pegawai angkatan laut Jepang di Jalan Theresia. Ia sempat
               ke Banten membangun jaringan gerilya, lalu balik ke Jakarta. Pada pekan
               kedua  September,  ia  pindah  ke Kampung  Cikampak, 18  kilometer  sebelah
               barat Bogor. Sejak itu ia bolak-balik ke Jakarta.

               Di Jakarta, kaum pemuda terus bergerak. Mereka melihat pemerintah tidak
               bekerja mengisi kemerdekaan meski kabinet telah dibentuk. "Mereka cuma
               kumpul-kumpul  di  gedung  Pegangsaan,"  kata  Adam  Malik.  "Seperti  tidak
               ada rencana."

               Itu  sebabnya,  sebagian  pemuda  mengusulkan  demonstrasi.  Tapi  sebagian
               lain  ingin  membentuk  Palang  Merah  dan  mengurus  tawanan  perang.
               Pemuda  yang  berkumpul  di  Jalan  Prapatan  10,  sekarang  Jalan  Kwitang,
               terbelah.

               Pemuda prodemonstrasi meninggalkan Jalan Prapatan menuju Menteng 31.
               "Ini kesempatan kita mempraktekkan Massa Actie," kata Sukarni mengutip
               buku Tan yang menjadi pegangan pemuda. Setelah itu mereka membentuk
               Komite  van  Actie.  Komite  ini  mengambil  alih  sarana  transportasi  dan
               mengibarkan bendera Merah-Putih di mana-mana.

               Karena kabinet belum ada kegiatan, Soebardjo-saat itu sudah Menteri Luar
               Negeri-meminta  nasihat  Tan  yang  lalu  mengusulkan  agar  propaganda
               dilakukan  lewat  semboyan-semboyan.  "Tan  ikut  mengusulkan  kata-
               katanya," kata Hadidjojo Nitimihardjo, putra Maruto. Semboyan itu ditulis
               pemuda  di  tembok-tembok,  mobil,  dan  kereta  api  hingga  tersebar  ke  luar
               Jakarta, dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris agar menarik perhatian
               dunia.

               Sejak itu Soekarno mendengar kemunculan Tan. Ia meminta Sayuti Melik
               mencarinya. Dua tokoh itu akhirnya diam-diam bertemu dua kali pada awal
               September  1945.  Pertemuan  itu  menjadi  rahim  lahirnya  testamen  politik.
               Isinya: "Bila Soekarno-Hatta tidak berdaya lagi, pimpinan perjuangan akan
               diteruskan oleh Tan, Iwa Koesoema, Sjahrir, dan Wongsonegoro."

               Kasak-kusuk kehadiran Tan makin santer. Para pemuda membicarakannya
               di  Menteng  31.  Tan  saat  itu  tinggal  di  rumah  Pak  Karim,  tukang  jahit  di
               Bogor.  Sukarni  dan  Adam  Malik  mencarinya  ke  sana.  Mereka  berhasil


                                                   12
   9   10   11   12   13   14   15   16   17   18   19