Page 23 - TAN MALAKA- Bapak Republik Yang Di Lupakan
P. 23

Slamet  pernah  dibuang  ke  Digul  karena  aktif  di  gerakan  kiri
               menentang  Belanda.  Saat  pendudukan  Jepang,  pria  kelahiran
               Madiun, Jawa Timur, 1901 ini dipercaya memimpin sejumlah proyek
               pembangunan,  seperti  jalan  dan  waduk.  Belum  semua  proyek
               rampung,  Sekutu  menjatuhkan  bom  atom  di  Hiroshima  dan
               Nagasaki.

               Jepang  kalah  dan  lari  dari  daerah  pendudukannya  di  Asia  Timur,
               termasuk  Indonesia.  Ketika  Jepang  menyingkir  dari  Jawa,  menurut
               peneliti dan penulis buku tentang Tan Malaka, Harry A. Poeze, koper
               Slamet masih penuh uang. Duit ini yang dipakai untuk biaya gerakan
               politik.

               Slamet tinggal di dekat Stasiun Kedungrandu, Kecamatan Patikraja,
               Banyumas,  10  kilometer  dari  Kota  Purwokerto.  Dulu,  perusahaan
               kereta  api  Belanda,  Serajoedal  Stoomtram  Maatschappij  dan
               Serajoedal  Staatspoor,  mengoperasikan  kereta  api  Cilacap-Stasiun
               Raya  Purwokerto-Gombong  yang  melalui  Kedungrandu.  Jalur  ini
               melintas  di  dekat  aliran  Sungai  Serayu.  Tapi  pada  1936,  dua
               perusahaan itu bangkrut.

               Ada  tiga  rumah  bekas  petinggi  perusahaan  kereta  api  Belanda  di
               Kedungrandu. Satu di antaranya ditempati keluarga Slamet. Di kiri-
               kanan  rumah  Slamet  terhampar  sawah.  Di  kejauhan  tampak  bukit-
               bukit  hijau.  Rumah  Slamet  menghadap  ke  utara,  berpagar  pohon
               petai  cina.  Di  belakang  rumah  mengalir  Kali  Pematusan,  sekaligus
               pembatas rumah dengan sawah. "Dulu saya suka memetik klandingan
               (petai cina) di situ," ungkap Nasirun, 66 tahun, tetangga Slamet.

               Rumah berarsitektur Belanda ini telah dilengkapi telepon dan garasi
               mobil.  Darmuji,  76  tahun,  penduduk  setempat,  mengenal  Slamet
               sebagai priyayi terpandang dan kaya di Patikraja. Orang kebanyakan,
               termasuk Darmuji, umumnya takut bertamu. "Saya dan Den Slamet
               kan beda," katanya.

               Ketika pergi ke Purwokerto, Tan selalu menginap di sini. Di rumah ini
               pula  Tan  bertemu  dengan  Soedirman  sebelum  kongres.  Slamet  dan
               istrinya,  Martini,  memanggil  Tan  dengan  sebutan  Ohir.  Mungkin
               diambil  dari  bahasa  Belanda,  ouheer,  yang  bermakna  orang  tua.
               Perintis  Gunawan,  49  tahun,  anak  Slamet  yang  kini  tinggal  di
               Cireundeu, Tangerang, mendapat kisah ini dari ibunya.




                                                   21
   18   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28