Page 46 - TAN MALAKA- Bapak Republik Yang Di Lupakan
P. 46

Awalnya, Janssen-lah yang meminta Tan Malaka membantu Tuan W untuk
               menjadi  pengawas  sekolah  di  Deli.  Tan,  yang  kala  itu  sedang  menempuh
               sekolah guru di Belanda, tertarik dengan tawaran kerja itu.

               Deli adalah kota besar dengan penduduk sekitar dua juta. Namun ada yang
               menyedihkan di sana. Sekitar 60 persen penduduk Deli merupakan keluarga
               kuli  kontrak  perkebunan,  pertambangan  minyak,  dan  pengangkutan.
               "Mereka  keluarga  proletaris  tulen,  dan  Deli  merupakan  daerah  proletaria
               yang sesungguhnya," kata Tan Malaka dalam catatan hariannya. Kelas atas
               di Deli, menurut Tan, adalah borjuis asing dari Eropa-Amerika, disusul dari
               Tionghoa. Adapun borjuis Indonesia adalah Sultan Serdang dan Sultan Deli.

               Selama  di  Deli,  Tan  sering  berbincang-bincang  dengan  siswanya  dan
               mengunjungi  rumah  mereka.  Ini  berbeda  dengan  Tuan  W,  yang  cuma
               datang  ke  sekolah  naik  mobil  dinasnya.  Tan  ingin  mengetahui  tabiat,
               kemauan,  dan  kecondongan  hati  masing-masing  anak.  Dari  semua
               informasi  yang  diperolehnya,  ujar  Tan,  diperlukan  satu  pusat  sebagai
               sekolah percontohan.

               Selain  mengurus  pendidikan,  Tan  Malaka  juga  menampung  keluh-kesah
               para kuli kontrak. Para kuli itu umumnya buta huruf dan terjerat berbagai
               peraturan  kontrak  yang  tak  bisa  dipahami.  Tan  melihat  para  kuli  itu
               terbelenggu kekolotan, kebodohan, kegelapan, sekaligus "hawa nafsu jahat"
               permainan judi. Kisah kuli kontrak ini mewarnai artikel Tan Malaka yang
               tersebar  di  surat  kabar  Liberal,  Medan,  dan  Sumatera  Post,  yang  kerap
               membuat marah para tuan besar.

               Pengalamannya bergaul dengan kaum proletar ini makin memantapkan Tan
               bergerak  di  sektor  pendidikan.  Menurut  dia,  "Kemerdekaan  rakyat  hanya
               bisa diperoleh dengan pendidikan kerakyatan." Ini semua, kata Tan, untuk
               menghadapi  kekuasaan  pemilik  modal  yang  berdiri  atas  pendidikan  yang
               berdasarkan kemodalan.

               Pada 2 hingga 6 Maret 1921, Tan Malaka mengikuti Kongres Sarekat Islam
               di Yogyakarta. Di sinilah ia pertama kalinya bertemu HOS Tjokroaminoto,
               Agus Salim, Semaun, dan tokoh-tokoh lain organisasi Islam tersebut. Kala
               itu  organisasi  ini  sedang  dilanda  perpecahan,  antara  faksi  Islam  dan
               komunisme. Sarekat Islam Semarang yang dipimpin Semaun dan Darsono
               lebih berkiblat ke komunisme.

               Seusai kongres, Semaun mengajak Tan Malaka ke Semarang. "Kehadirannya
               menguntungkan  bagi  gerakan  rakyat  revolusioner  di  Indonesia,"  ujar
               Semaun  dalam  buku  Sewindu  Hilangnya  Tan  Malaka.  Saat  itu  keduanya
               sepakat  membangun  sekolah  rakyat  bagi  calon  pemimpin  revolusioner.
               Sarekat  Islam  memberikan  gedung  dan  fasilitas  pendidikan  lainnya.  Tan




                                                   44
   41   42   43   44   45   46   47   48   49   50   51