Page 64 - TAN MALAKA- Bapak Republik Yang Di Lupakan
P. 64

k
                                  u
                                  u
                                 k
                              a
                               h
                               h
                                      a
                                      a
                                       l
                                    d


                                    d
                        h


                        h
                     p
                      a
                       a
                             r
                             r
                              a
                            a
                          D
                          D
                            a
                                                   h


                                                   h
                                                u
                                                 a
                                                  a
                                                        k
                                                        k
                                                          u
                                                       u
                                                     B
                                                     B
                                                       u
                                         m


                                         m
                                       l
                                        a
                                        a
                                               b
                                               b
                                                u
                                             e
                                            S
                                            S
                                             e
               Tumpah Darahku dalam Sebuah Bukuu
                 u
               Tumpah Darahku dalam Sebuah Buku
               T T
                   m
                     p
                 u
                   m


               AWAL  tahun  1926.  Di  Tanah  Air,  revolusi  sudah  "hamil  tua".  Dari
               persembunyiannya  di  Geylang  Serai,  Singapura,  buru-buru  Tan  menulis
               buku  sepanjang  129  halaman  agar  kelahirannya  yang  prematur,  menurut
               dia,  bisa  dicegah.  Sialnya,  pesan  berjudul  Massa  Actie  in  Indonesia  itu
               terlambat  keluar  dari  percetakan.  Pemberontakan  Partai  Komunis
               Indonesia 1926 sama sekali gagal menggoyang kekuasaan Belanda. Banyak
               pendukung terbunuh, para pemimpin dipenjarakan dan dibuang.

               Targetnya  tidak  kesampaian,  tapi  Massa  Actie  kemudian  justru  disambut
               penuh gairah oleh kalangan nasionalis. Situasi memang sedang panas saat
               itu;  gerakan  antikolonialisme  menggeliat  di  Jakarta,  Bandung,  dan
               Surabaya. Dan seperti api kecil yang bermunculan di sana-sini, Massa Actie
               adalah minyak tanah yang membuatnya berkobar dengan pelajaran sejarah
               ringkas akan arti sebuah imaji bernama Indonesia.

               Di  dalam  Massa  Actie,  Tan  membongkar  kultur  takhayul  yang  mendarah
               daging  di  bangsa  ini,  memperkenalkan  macam-macam  imperialisme,
               menunjukkan  apa  arti  revolusi,  dan  menunjukkan  bagaimana  kekuatan
               rakyat bisa dimanfaatkan. Inilah semacam cetak biru bagi revolusi massa;
               desakan kuat dari bawah untuk mendorong perubahan. "Massa aksi terjadi
               dari orang banyak yang bergerak," katanya.

               Tan  memperkenalkan  pula  kepada  sesama  rakyat  di  negeri  terjajah  akan
               pentingnya  persatuan  di  bawah  bendera  Federasi  Republik  Indonesia;
               gabungan  Indonesia  Selatan,  tempat  bercokolnya  Hindia  Belanda,  dan
               Indonesia  Utara,  alias  Filipina,  yang  dijajah  Amerika.  Termasuk
               Semenanjung Malaka, yang ada di bawah kuasa Inggris. "Mari kita satukan
               100.000.000  yang  tertindas  dan  mendiami  pusat  strategi  dan  lalu  lintas
               seluruh benua Asia dan samuderanya," Tan menulis.

               Dan  Massa Actie pun  memberikan  pedoman  aksi bagi  kemerdekaan.  Satu
               yang hangat diingat Hadidjojo Nitimihardjo. Ia putra Maruto Nitimihardjo,
               Ketua  Indonesische  Studieclub  yang  bersama  kelompoknya  mengadakan
               Kongres Pemuda Indonesia pada 26-28 Oktober 1928. Menurut Hadidjojo
               kepada  Tempo,  saat  itu  Maruto  dan  aktivis  lain,  Sugondo  Djojopuspito,
               menggandeng  seorang  pemuda  bertubuh  ceking  berwajah  tirus.  Dialah
               Wage Rudolf Supratman.

               "W.R.  Supratman  sudah  membaca  seluruh  buku  Massa  Actie  itu,"  kata
               Hadidjojo.  Muhammad  Yaminlah  yang  memaksa  Sugondo  memberikan
               waktu bagi Supratman memainkan lagu ciptaannya di situ. Lalu bergemalah
               lagu Indonesia Raya, lagu yang terinspirasi dari bagian akhir Massa Actie:
               "Lindungi  bendera  itu  dengan  bangkaimu,  nyawamu,  dan  tulangmu.
               Itulah  tempat  yang  selayaknya  bagimu,  seorang  putra  tanah  Indonesia
               tempat darahmu tertumpah."
                                                   62
   59   60   61   62   63   64   65   66   67   68   69