Page 70 - TAN MALAKA- Bapak Republik Yang Di Lupakan
P. 70

Syahdan, menurut penuturan Tan kepada Djamaluddin, leluhur Tan Malaka
               dari  garis  ibu  adalah  pendatang  dari  Kamang,  Bukittinggi.  Mereka
               meninggalkan Kamang karena tanah di sana kurang subur. Pada awal abad
               ke-19, mereka berkelana mencari tempat baru. Dalam perjalanan ke utara,
               mereka  singgah  di  sebuah  lembah.  Mereka  mendapati  serumpun  pandan
               besar  yang  di  bawahnya  mengalir  mata  air.  Lembah  subur  inilah  yang
               dipilih menjadi tempat tumbuh beranak-pinak.

               Dari  pihak  ayah,  Zulfikar,  keponakan  Tan,  menuturkan bahwa  leluhurnya
               datang dari Bonjol, utara Payakumbuh, ketika pecah Perang Paderi. "Waktu
               itu keluarga kami lari dan menetap di lembah Pandan Gadang," kata putra
               Kamaruddin  ini.  Meski  cuma  23  kilometer  dari  pusat  Kota  Payakumbuh,
               lembah ini susah dijangkau karena jalan yang rumit berliku.

               Pemerintah  kolonial  Belanda  menempatkan  seorang  kontrolir,  pejabat
               setingkat  camat,  di  Pandan  Gadang.  Penanda  kekuasaan  Belanda  pada
               waktu  itu  adalah  penduduk  diwajibkan  menanam  kopi  di  seperlima  lahan
               untuk  diserahkan  kepada  pemerintah.  Pada  1908  pemerintah  Belanda
               mengganti kewajiban tanam kopi menjadi pajak.

               Keluarga Ibra mendiami sebuah rumah gadang milik kaum, lengkap dengan
               lumbung  padi,  surau,  dan  beberapa  kolam  ikan.  Pandan  Gadang  mirip
               lukisan-lukisan  pemandangan  desa  yang  terpajang  di  pasar  seni.  Berlatar
               perbukitan, dirimbuni pohon kelapa, lengkap dengan sungai dan hamparan
               sawah. Kehidupan warga kampung tidak terlalu sulit. Alam begitu pemurah.
               Sawah  dipanen  dua  kali  setahun.  Air  gunung  siap  mengaliri  sawah  dan
               mengisi empang sepanjang tahun. "Kami memang bukan orang berada, tapi
               semua di lembah itu adalah milik kami," ujar Zulfikar, yang kini berusia 60-
               an tahun.

                                                   ***
               Ibra  adalah  potret  bocah  lelaki  Minangkabau.  Gemar  sepak  bola,  main
               layang-layang,  dan  berenang  di  sungai.  Selepas  magrib  dia  mengaji,  lalu
               tidur di surau. Anak lelaki, begitu kelaziman setempat, segan menginap di
               rumah  ibunya.  "Ibra  seorang  anak  pemberani, bandel, dan  nekat,  tapi  tak
               pernah  meninggalkan  sembahyang.  Ia  hafal  Quran,"  kata  Zulfikar,
               mengenang kesaksian Kamaruddin.

               Soal  bandel  dan  nekat  ini  dikisahkan  Tan  dalam  Dari  Penjara  ke  Penjara
               Jilid  I.  Ketika  mengunjungi  ayahnya yang  ditugaskan  di  Tanjung Ampalu,
               Sawahlunto, Ibra ditantang anak-anak setempat buat menyeberang Sungai
               Ombilin.  Orang  dewasa  pun  kewalahan  menyeberang  sungai  selebar  50
               meter itu karena arusnya deras. Tapi Ibra memenuhi tantangan itu. "Maka
               tewaslah napas dan hilanglah ingatan diombang-ambingkan ombak deras."





                                                   68
   65   66   67   68   69   70   71   72   73   74   75