Page 72 - TAN MALAKA- Bapak Republik Yang Di Lupakan
P. 72

Rudolf Mrazeck, penulis buku Tan Malaka, menyebut Fort de Kock adalah
               rantau  pertama  Ibra.  Para  tetua  kampung  melepasnya.  Merantau  adalah
               jiwa masyarakat Minangkabau. Seorang perantau diyakini bakal membawa
               nilai-nilai  kebaikan  yang  ada  di  dunia  luar  sana.  Sistem  matrilineal,  juga
               adat anak lelaki yang tidur di luar rumah, adalah sebagian instrumen yang
               mendorong lelaki yang beranjak dewasa segera "terusir" dari kampung.

               Di  Bukittinggi,  Ibra  berkenalan  dengan  budaya  negeri  penjajahnya.  Dia
               belajar  bahasa  Belanda.  Dia  bergabung  dengan  orkes  sekolah  sebagai
               pemain  cello,  di bawah pimpinan  G.H. Horensma.  Hobi  lamanya juga tak
               pernah  hilang:  main  sepak  bola.  Sama  seperti  di  kampung,  Ibra-yang
               dipanggil Ipie oleh Horensma-banyak menghabiskan waktu luangnya buat
               sepak bola.

               Horensma di kemudian hari menganggap Ipie seperti anaknya sendiri. Dia
               sering mengingatkan Ipie agar meluangkan waktu lebih banyak buat belajar.
               Tapi sia-sia. Anak pedalaman Suliki ini tetap saja gemar bermain. Untung
               saja, si badung memang cerdas. Dia tak perlu mengulang untuk menyerap
               pelajaran.  Ia  selalu  menjadi  siswa  yang  paling  cerdas  hingga  Horensma
               begitu terkesima. Ipie juga dikenal sebagai sosok santun dan ramah.

               Ketika  musim  liburan  tiba,  Ipie  kembali  ke  Pandan  Gadang. Di  rumah,  ia
               memastikan  adiknya,  Kamaruddin,  belajar  sungguh-sungguh.  Ia  memang
               tidak mengajari adiknya, "Tapi dia marah jika adiknya yang cuma satu itu
               mendapat  nilai  rendah,"  kata  Zulfikar.  Pernah  suatu  ketika  Kamaruddin
               mendapat nilai merah. Tak banyak cakap, Ipie menyeret adiknya ke empang
               dan berulang kali membenamkannya. "Bodoh, kamu harus belajar!"

               Setahun sebelum ujian teori akhir, Ipie dipanggil pulang oleh keluarga besar
               di  Suliki.  Ia  harus  menerima  penobatan  sebagai  pemangku  Datuk  Tan
               Malaka, menggantikan  pemegang gelar terdahulu yang sudah uzur. Sudah
               menjadi  adat,  pelekatan  gelar  disertai  pertunangan  yang  telah  diatur
               keluarga.  Tapi  Ipie  menolak  dijodohkan.  Penolakan  itu  mengecewakan
               keluarga besar. Suasana pesta pun kurang meriah.

               Kembali ke Fort de Kock, Ipie tenggelam dalam pelajaran dan hobinya. Pada
               1913  ia  merampungkan  ujian  teori  akhir  dan  ikut  praktek  mengajar  di
               sekolah  rendah  pribumi.  Entah  kenapa,  Ipie  tidak  menyelesaikan  masa
               praktek  yang  tinggal  satu  tahun.  Di  sekolah  rendah  ini,  dia  mendapat
               kesenangan  baru:  mengajar  baris-berbaris.  Kelak,  di  Eropa,  ketertarikan
               pada  dunia  militer  mendorong  Ipie  melamar  sebagai  legiun  asing  tentara
               Jerman.  Sayangnya,  Jerman  tidak  membentuk  legiun  asing.  Impian  Tan
               memasuki dunia militer tak tercapai.

               Horensma  menyarankan  agar  sang  datuk  muda  belajar  di  Belanda.  Atas
               bantuan W. Dominicus, kontrolir Suliki, pemuka warga mengumpulkan f 30


                                                   70
   67   68   69   70   71   72   73   74   75   76   77