Page 71 - TAN MALAKA- Bapak Republik Yang Di Lupakan
P. 71

Tubuh lemah Ibra terapung di sungai. Beruntung seorang teman bertubuh
               besar menyeretnya ke tepian sungai. "Setelah ingatan kembali, tiba-tiba Ibu
               sudah berada di depan saya dan siap memukulkan rotan sebagai pelajaran."
               Baru  beberapa  kali  kena  pukul,  Ibra  "diselamatkan"  ayahnya.  Demi
               menghindarkan  Ibra  dari  pukulan  sang  ibu,  Ibra  diikat  Rasad  di  pinggir
               jalan dan menjadi tontonan anak-anak.

               Sinah  tak  habis  akal.  Dia  lantas  mengadukan  anaknya  sendiri  ke  Guru
               Gadang  (guru  kepala).  Akibatnya,  Ibra  kena  hukuman  yang  paling
               mengerikan buat anak-anak ketika itu: jewer puser. Entah karena kelewat
               badung entah sial, selanjutnya Ibra sudah terbiasa dengan jewer puser ini.
               Bahkan kerap ia merasa selalu menjadi anak yang paling dipersalahkan dan
               satu-satunya yang dihukum.

               Sampai sekarang saya masih heran kenapa saya saja yang menjadi sasaran
               pilin pusar (jewer pusar) itu. Pernah dilakukan setelah saya hampir hanyut
               karena  menyelam  di  bawah  perahu  yang  menyeberang  sungai.  Lain  kali
               ketika  main  sembur-semburan  air.  Pernah  pula  ketika  permainan  "perang
               jeruk"  yang  berujung  saling  lempar  batu.  Saya  dihukum  seperti  "penjahat
               perang", dikurung di kandang ayam dan pilin pusar itu juga.

               Si  badung,  untungnya,  amat  cerdas  hingga  terbit  kagum  para  guru  di
               Sekolah  Kelas  Dua.  Mereka  merekomendasikan  Ibra  untuk  melanjutkan
               pendidikan  ke  Sekolah  Guru  Negeri  untuk  Guru-guru  Pribumi  di  Fort  de
               Kock-sekarang Bukittinggi. Ini satu-satunya lembaga lanjutan bagi lulusan
               Sekolah Kelas Dua, setelah menempuh pendidikan lima tahun.

               Bukan  perkara  gampang  masuk  Fort  de  Kock.  Sebutannya  saja  "Sekolah
               Raja". Cuma anak ningrat atau pegawai tinggi yang bisa masuk sekolah itu.

               Ayah  Ibra  hanya  pegawai  rendahan.  Sakti  Agra,  dalam  buku  Tan  Malaka
               Datang,  menyebut  Rasad  bekerja  sebagai  mantri  suntik  atau  vaksinator.
               Tapi,  menurut  cerita  Kamaruddin,  ayahnya  adalah  mantri  yang  bertugas
               mengatur  distribusi  garam-yang  dimonopoli  penguasa-di  kampung.  Yang
               jelas, keduanya jenis pegawai rendah yang cuma bergaji belasan gulden (f).
               Padahal biaya makan per bulan saja Ibra memerlukan sekitar f 8.

               Para guru Sekolah Kelas Dua tak putus asa. Mereka tetap berjuang agar Ibra
               bisa  sekolah  ke  kota  benteng.  Asal-usul  keluarga  Ibra,  dari  pihak  ibu,
               dianggap  cukup  untuk  alasan  mendaftar.  Tan  Malaka  senior  adalah  salah
               satu pendiri Pandan Gadang dan juga membawahkan beberapa datuk.

               Fakta  itu  ditambahi  keterangan  tentang  kecerdasan  Ibra  yang  luar  biasa,
               meski waktunya lebih banyak habis buat main bola dan renang. Walhasil,
               pada 1907 Ibra terdaftar di Fort de Kock.

                                                   ***



                                                   69
   66   67   68   69   70   71   72   73   74   75   76