Page 81 - TAN MALAKA- Bapak Republik Yang Di Lupakan
P. 81

,
                             ,

                          k
                            a
                            a

                                e
                                 j
                                 j
                              S
                              S
                                e
                          k


                     M
                 a
                   n
                   n
                     M
                        l
                         a
                         a
                       a
                       a
                        l
                                           u
                                             s
                                             s
                                          t
                                          t
                                           u

                                               t
                                               t
                                                u

                                              I
                                              I
                                         s
                                   k


                                  a
                                  a
                                   k
                                     A
                                        u
                                        u
                                         s
                                     A
                                       g
                                       g
               T T
               Tan Malaka, Sejak Agustus Itu
                 a
               Tan Malaka, Sejak Agustus Ituu


               SAYA  bisa  bayangkan  pagi  hari  17  Agustus  1945  itu,  di  halaman  sebuah
               rumah di Jalan Pegangsaan, Jakarta: menjelang pukul 09:00, semua yang
               hadir tahu, mereka akan melakukan sesuatu yang luar biasa.

               Hari itu memang ada yang menerobos dan ada yang runtuh. Yang runtuh
               bukan  sebuah  kekuasaan  politik;  Hindia  Belanda  sudah  tak  ada,  otoritas
               pendudukan Jepang yang menggantikannya baru saja kalah. Yang ambruk
               sebuah wacana.

               Sebuah wacana adalah sebuah bangunan perumusan. Tapi yang berfungsi di
               sini  bukan  sekadar  bahasa  dan  lambang.  Sebuah  wacana  dibangun  dan
               ditopang  kekuasaan,  dan  sebaliknya  membangun  serta  menopang
               kekuasaan  itu.  Ia  mencengkeram.  Kita  takluk  dan  bahkan  takzim
               kepadanya.  Sebelum  17  Agustus  1945,  ia  membuat  ribuan  manusia  tak
               mampu      menyebut     diri   dengan   suara    penuh,    "kami,   bangsa
               Indonesia"apalagi sebuah "kami" yang bisa "menyatakan kemerdekaan".

               Agustus itu memang sebuah revolusi, jika revolusi, seperti kata Bung Karno,
               adalah  "menjebol  dan  membangun".  Wacana  kolonial  yang  menguasai
               penghuni  wilayah  yang  disebut  "Hindia  Belanda"  jebol,  berantakan.  Dan
               "kami, bangsa Indonesia" kian menegaskan diri.

               Sebulan  kemudian,  19  September 1945,  dari  pelbagai  penjuru  orang  mara
               berduyun menghendaki satu rapat akbar untuk menegaskan "kemerdekaan"
               mereka, "Indonesia" mereka. Bahkan penguasa militer Jepang tak berdaya
               menahan pernyataan politik orang ramai di Lapangan Ikada itu.

               Dua tahun kemudian, meletus pertempuran yang nekat, sengit, dan penuh
               korban,  ketika  ratusan  pemuda  melawan  kekuatan  militer  Belanda  yang
               hendak membuat negeri ini "Hindia Belanda" kembali. Dari medan perang
               itu  Pramoedya  Ananta  Toer  mencatat  dalam  Di  Tepi  Kali  Bekasi:  sebuah
               revolusi  besar  sedang  terjadi,  "revolusi  jiwa-dari  jiwa  jajahan  dan  hamba
               menjadi jiwa merdeka....".

               Walhasil, sebuah subyek ("jiwa merdeka") lahir. Agaknya itulah makna dari
               mereka yang gugur, terbaring, tinggal jadi "tulang yang berserakan, antara
               Krawang dan Bekasi", seperti disebut dalam sajak Chairil Anwar yang semua
               kita hafal. Subyek lahir sebagai sebuah laku yang "sekali berarti/sudah itu
               mati",  untuk  memakai  kata-kata  Chairil  lagi  dari  sajak  yang  lain.  Sebab
               subyek dalam revolusi adalah sebuah tindakan heroik, bukan seorang hero.

               Dalam hal ini Tan Malaka benar: "Revolusi bukanlah suatu pendapatan otak
               yang luar biasa, bukan hasil persediaan yang jempolan dan bukan lahir atas
               perintah seorang manusia yang luar biasa."

               Tan Malaka menulis kalimat itu dalam Aksi Massa yang terbit pada 1926.
               Dua puluh tahun kemudian memang terbukti bahwa, seperti dikatakannya
                                                   79
   76   77   78   79   80   81   82   83   84   85   86