Page 84 - TAN MALAKA- Bapak Republik Yang Di Lupakan
P. 84

untuk menggerakkan revolusi. Bagi Lenin dan bagi Lukacs, revolusi harus
               punya komponen subyektif.

               Tentu, ada baku pengaruh antara dunia subyektif dan dunia obyektif; ada
               interaksi  antara  niat  dan  kesadaran  seorang  revolusioner  dan  "berbagai
               keadaan"  di  luar  dirinya.  Tapi,  kata  Lukacs,  di  saat  krisis,  kesadaran
               revolusioner  itulah  yang  memberi  arah.  Penubuhannya  adalah  Partai
               Komunis.

               Tapi  seberapa  bebaskah  "kesadaran  revolusioner"  itu  dari  wacana  yang
               dibangun  Partai  itu  sendiri?  Saktikah  Partai  Komunis  hingga  bisa  jadi
               subyek yang tanpa cela, sesosok hero?

               Ternyata, sejarah Indonesia menunjukkan PKI juga punya batas. Partai ini
               harus mengakui kenyataan bahwa ia hidup di tengah "lautan borjuis kecil".
               Agar revolusi menang, ia harus bekerja sama dengan partai yang mewakili
               "borjuis  kecil"  itu.  Ia  tak  akan  berangan-angan  seperti  Tan  Malaka  yang
               hendak merebut kepemimpinan Bung Karno. Di bawah Aidit, PKI bahkan
               akhirnya meletakkan diri di bawah wibawa Presiden itu.

               Pada  1965  terbukti  strategi  ini  gagal.  PKI  begitu  besar  tapi  kehilangan
               kemandirian dan militansinya. Ia tak melawan pada saat yang menentukan,
               tatkala  militer  dan  partai  "borjuasi  kecil"  yang  selama  ini  jadi  sekutunya
               menghantamnya.  PKI  terbawa  patuh  mengikuti  jalan  Bung  Karno,  sang
               Pemimpin Besar Revolusi, yang mementingkan persatuan nasional.

               Terkurung  di  bawah  wacana  "persatuan  nasional",  agenda  radikal  tersisih
               dan  sunyi.  Terutama  dari  sebuah  Partai  yang  mewakili  sebuah  minoritas-
               yakni proletariat di sebuah negeri yang tak punya mayoritas kaum buruh.
               Tan  Malaka  sendiri  mencoba  mengelakkan  ketersisihan  itu  dengan  tak
               hendak  mengikuti  garis  Moskow,  ketika  pada  1922  ia  menganjurkan
               perlunya  Partai  Komunis  menerima  kaum  "Pan-Islamis"-yang  bagi  kaum
               komunis adalah bagian dari "borjuasi"-guna mengalahkan imperialisme.

               Tapi ia juga akhirnya sendirian. Sang radikal, yang ingin mengubah dunia
               tanpa jeda tanpa kompromi, bergerak antara tampak dan tidak. Ia muncul
               menghilang bagaikan titisan dewa. Sejak Agustus 1945, Tan Malaka adalah
               makhluk legenda.

               Sebuah  legenda  memang  memikat.  Tapi  dalam  pembebasan  mereka  yang
               terhina dan lapar, sang pahlawan sebaiknya mati. Revolusi tak pernah sama
               dengan dongeng yang sempurna.

               Jakarta, 7 Agustus 2008.

               Goenawan Mohamad






                                                   82
   79   80   81   82   83   84   85   86   87   88   89