Page 82 - TAN MALAKA- Bapak Republik Yang Di Lupakan
P. 82

pula,  "Revolusi  timbul  dengan  sendirinya  sebagai  hasil  dari  berbagai
               keadaan."

               Itulah Revolusi Agustus.

               Tapi kemudian tampak betapa tak mudahnya memisahkan perbuatan yang
               heroik dari sang X yang berbuat, yang terkadang disambut sebagai "hero"
               atau  "pelopor".  Sebab  tiap  revolusi  digerakkan  oleh  sebuah  atau  sederet
               pilihan + keputusan, dan tiap keputusan selalu diambil oleh satu orang atau
               lebih.  Dan  ketika  revolusi  hendak  jadi  perubahan  yang  berkelanjutan,  ia
               butuh ditentukan oleh satu agenda. Ia juga akan dibentuk oleh satu pusat
               yang mengarahkan proses untuk melaksanakan agenda itu.

               Sekitar seperempat abad setelah 1945, Bung Karno, yang ingin menegaskan
               bahwa  Revolusi Agustus  "belum  selesai",  mengutarakan  sebuah  rumus. Ia
               sebut  "Re-So-Pim":  Revolusi-Sosialisme-Pimpinan.  Bagi  Bung  Karno,
               revolusi  Indonesia  mesti  punya  arah,  punya  "teori",  yakni  sosialisme,  dan
               arah itu ditentukan oleh pimpinan, yakni "Pemimpin Besar Revolusi".

               Tan  Malaka  tak  punya  rumus  seperti  itu.  Tapi  ia  tetap  seorang  Marxis-
               Leninis yang yakin akan perlunya "satu partai yang revolusioner", yang bila
               berhubungan baik dengan rakyat banyak akan punya peran "pimpinan".

               Bahwa  ia  percaya  kepada  revolusi  yang  "timbul  dengan  sendirinya",  hasil
               dari  "berbagai  keadaan",  menunjukkan  bagaimana  ia,  seperti  hampir  tiap
               Marxis-Leninis, berada di  antara  dua  sisi  dialektika:  di  satu  sisi, perlunya
               "teori"  atau  "kesadaran"  tentang  revolusi  sosialis;  di  sisi  lain,  perlunya
               (dalam  kata-kata  Tan  Malaka)  "pengupasan  yang  cocok  betul  atas
               masyarakat Indonesia".

               Di  situ,  ada  ambiguitas.  Tapi  ambiguitas  itu  agaknya  selalu  menghantui
               agenda perubahan yang radikal ke arah pembebasan Indonesia.

                                                   ***
               TAK begitu jelas, apa yang dikerjakan Tan Malaka pada Agustus 1945. Yang
               bisa saya ikuti adalah yang terjadi sejak proklamasi kemerdekaan bergaung.

               Beberapa  pekan  setelah  17  Agustus  1945,  di  Serang,  wilayah  Banten,  Tan
               Malaka bertemu dengan Sjahrir. Mungkin itulah buat pertama kalinya tokoh
               kiri  radikal  di  bawah  tanah  itu  berembug  dengan  sang  tokoh  sosial
               demokrat. Tan Malaka dan Sjahrir secara ideologis berseberangan; seperti
               halnya  tiap  Marxis-Leninis,  Tan  Malaka  menganggap  seorang  sosial-
               demokrat sejenis Yudas.

               Tapi  seperti  dituturkan  kembali  oleh  Abu  Bakar  Lubis  -orang  yang
               menyatakan  pernah  dapat  perintah  Presiden  Soekarno  untuk  menangkap
               Tan Malaka-dalam pertemuan di Serang itu Tan Malaka mengajak Sjahrir
               untuk bersama-sama menyingkirkan Soekarno sebagai pemimpin revolusi.
               Menurut cerita yang diperoleh A.B. Lubis pula, Sjahrir menjawab: jika Tan


                                                   80
   77   78   79   80   81   82   83   84   85   86   87