Page 83 - TAN MALAKA- Bapak Republik Yang Di Lupakan
P. 83

Malaka bisa menunjukkan pengaruhnya sebesar 5 persen saja dari pengaruh
               Soekarno di kalangan rakyat, Sjahrir akan ikut bersekutu.

               Ada  sikap  meremehkan  dalam  kata-kata  Sjahrir  itu.  Konon  ia  juga
               menasihati agar Tan Malaka berkeliling Jawa untuk melihat keadaan lebih
               dulu sebelum ambil sikap.

               Jika  benar  penuturan  A.B.  Lubis  (saya  baca  dalam  versi  Inggris,  dalam
               jurnal Indonesia, April 1992), pertemuan di Serang itu lebih berupa sebuah
               perselisihan: sang "radikal" tak cocok dengan sang "pragmatis".

               Tan Malaka tampaknya hendak menjalankan tesis Trotsky tentang "revolusi
               terus-menerus". Bagi Trotsky, di sebuah negeri seperti Rusia dan Indonesia-
               yang tak punya kelas borjuasi yang kuat-revolusi sosialis harus berlangsung
               tanpa jeda. Trotsky tak setuju dengan teori bahwa dalam masyarakat seperti
               Rusia dan Indonesia revolusi berlangsung dalam dua tahap: pertama, tahap
               "borjuis" dan "demokratis"; kedua, baru setelah itu, "tahap sosialis".

               Bagi Trotsky, di negeri yang "setengah-feodal dan setengah-kolonial", kaum
               borjuis  terlampau  lemah  untuk  menyelesaikan  agenda  revolusi  tahap
               pertama:  membangun  demokrasi,  mereformasi  pemilikan  tanah,  dan
               menciptakan  pertumbuhan  ekonomi.  Maka  kaum  proletarlah  yang  harus
               melaksanakan  revolusi  itu.  Begitu  tercapai  tujuannya,  kelas  buruh
               melanjutkan revolusi tahap kedua, "tahap sosialis".

               Ini tentu sebuah pandangan yang terlampau radikal-bahkan bagi Rusia pada
               tahun  1920-an,  di  suatu  masa  ketika  Lenin  terpaksa  harus  melonggarkan
               kendali  Negara  atas  kegiatan  ekonomi,  dan  kelas borjuis  muncul bersama
               pertumbuhan  yang  lebih  pesat.  Di  Indonesia  agenda  Trotskyis  itu  bisa
               seperti  garis  yang  setia  kepada  gairah  1945.  Dilihat  dari  sini,  niat  Tan
               Malaka  tak  salah:  ia,  yang  melihat  dirinya  wakil  proletariat,  harus
               menggantikan Soekarno, wakil kelas borjuis yang lemah.

               Tapi  Sjahrir,  sang  "pragmatis",  juga  benar:  pengaruh  Tan  Malaka  di
               kalangan  rakyat  tak  sebanding  dengan  pengaruh  Bung  Karno.  Dunia
               memang  alot.  Di  sini  "pragmatisme"  Sjahrir  (yang  juga  seorang  Marxis),
               sebenarnya  tak  jauh  dari  tesis  Tan  Malaka  sendiri.  Kita  ingat  tesis
               pengarang  Madilog  ini:  revolusi  lahir  karena  "berbagai  keadaan",  bukan
               karena adanya pemimpin dengan "otak yang luar biasa".

               Tapi haruskah seorang revolusioner hanya mengikuti "berbagai keadaan" di
               luar  dirinya?  Gyorgy  Lukacs,  pemikir  Marxis  yang  oleh  Partai  Komunis
               pernah dianggap menyeleweng itu, membela dirinya dalam sebuah risalah
               yang  dalam  versi  Jerman  disebut  Chvostismus  und  Dialektik,  dan  baru
               diterbitkan di Hungaria pada 1996, setelah 70 tahun dipendam.

               Dari sana kita tahu, Lukacs pada dasarnya dengan setia mengikuti Lenin. Ia
               mengecam  "chvostismus".  Kata  ini  pernah  dipakai  Lenin  untuk
               menunjukkan  salahnya  mereka  yang  hanya  "mengekor"  keadaan  obyektif



                                                   81
   78   79   80   81   82   83   84   85   86   87   88